Medan, Pelitaharian.id – Minyak goreng (Migor) akan semangkin langka dan harganya mahal disebabkan naiknya harga TBS (Tandan Buah Segar) Kelapa Sawit hampir mencapai Rp4000 dan salah satu upaya mengatasinya pemerintah harus menurunkan harga CPO.
Hal ini diingatkan anggota Komisi B DPRD Sumut Sugianto Makmur kepada wartawan, Kamis (3/3/2022) di Medan, ketika menyimak situasi kelangkaan minyak goreng dan harga yang mahal.
Dia menyebutkan, minyak goreng langka, ada dua sebab. Yaitu sejak bulan Februari, pemerintah memaksa perusahaan penghasil migor menjual harga murah di bawah HPP, dengan aturan DPO kerugian ditanggung swasta. Pemerintah bisa memaksa penjualan eceran dengan ancaman hukuman pidana, tapi tidak bisa memaksa pabrik menghentikan atau mengurangi produksi.
“Migor langka juga karena absorbsi masyarakat yang di atas rata-rata. Kebutuhan masyarakat yang biasanya 5 liter per bulan, dibeli 10 liter, sebagian disimpan untuk jaga-jaga. Akibatnya, sebanyak apa pun migor diantar ke pasar, segera lenyap seperti menyiram air ke pasir. Sebaiknya masalah migor diselesaikan satu demi satu ,”ungkapnya.
Sugianto Makmur menyebutkan, CPO bahan baku langsung dari minyak goreng, maka harga CPO yang perlu diturunkan agar HPP migor akan turun. Sebagai perbandingan, minggu lalu harga CPO Rp17.000 tapi harga minyak goreng malahan Rp14.000. “Tidak masuk akal harga produk jadi lebih murah dari bahan baku. Dengan menaikkan pajak ekspor, CPO dalam negeri akan turun. Mengenai besarannya, gampang dihitung. Mendag dan Menkeu perlu duduk bersama,”sarannya.
Menurut politisi PDI Perjuangan ini, sebaiknya penggunaan CPO yang besar harus dianalisa, seumpama untuk campuran biosolar. “Dulu, harga CPO lebih rendah dari minyak bumi dan untuk menghemat penggunaan minyak bumi, pemerintah membuat aturan B20, yaitu memakai 20 persen minyak nabati ke dalam solar, bahkan sekarang sudah B30.
“Untuk situasi sekarang, ada dua peraruran perlu dicabut atau direvisi. Peraruran tentang tidak bolehnya minyak goreng dijual eceran tanpa kemasan dan peraturan tentang pencampuran minyak nabati untuk pemakaian diesel. Langkah kedua, mengambil langkah-langkah untuk meyakinkan masyarakat bahwa minyak goreng tidak akan hilang dari pasaran,” ungkspnya.
Sugianto Makmur mengatakan, langkah memaksa pengusaha menjual HET (DPO) memang baik, jika perusahaan menjual dengan HET dalam rangka DMO (Kewajiban menjual 20 persen dari Total Produksi dengan sisa 80 persen untuk diekspor) untuk mendapatkan PE (Persetujuan Ekspor). Tetapi kebijakan ini menjadi blunder karena tidak semua perusahaan migor mengekspor produknya dan penyamaan harga utk semua merk berdampak negatif untuk merek-merek premium yang memang berkualitas lebih baik.
Maka untuk memperbaiki ini, menurutnya, bila dipandang perlu, perusahaan boleh “dipaksa” menjual dengan harga HPP, migor curah dan atau migor kemasan “minyak kita”, brand milik pemerintah sebanyak 10 persen dari total produksi mereka. Migor dengan merek Minyak Kita ini bisa disubsidi bila HPP di atas HET, dengan sumber dana Pajak Ekspor CPO dan produk turunannya. Untuk brand-brand lainnya silakan masuk ke pasar dengan mekanisme pasar. Tidak perlu diatur-atur.
Pemerintah harus cepat mengambil langkah yang tepat. Naiknya CPO pasti menambah beban pabrik migor. Sudah beberapa perusahaan tutup permanen dan bukan hal yang benar, memaksa swasta menanggung subsidi. Negara lah yang harusnya menanggung subsidi. Lebih parah lagi, bila industri migor kolaps. Migor bisa benar-benar langka.
Sugianto percaya, dengan mengambil langkah-langkah di atas, migor akan segera ditemukan lagi di pasar retail. Lagipula, mengenai tambahan biaya bila membeli migor non subsidi, dengan rata-rata konsumsi 4 liter per bulan, kenaikan biaya yang ditanggung apabila selisih harga Rp10.000/liter hanyalah Rp.40.000/bulan. Biarlah prasejahtera membeli yang subsidi lebih beruntung membeli non subsidi yang lebih mahal.(cut)