Medan, pelitaharian.id – Sidang kasus dugaan penistaan agama dengan terdakwa selebgram Ratu Entok alias Ratu Thalisa (ISPL) kembali berlangsung pada Kamis (16/1/2025) di Pengadilan Negeri Medan, Ruang Cakra 8. Agenda sidang kali ini adalah pemeriksaan saksi dan ahli.
Sidang dengan nomor perkara 2359/Pidsus/2024 ini dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Achmad Ukayat, SH., MH, didampingi dua hakim anggota dan seorang panitera. Dalam persidangan, turut hadir tim kuasa hukum terdakwa yang diketuai oleh Wendy M. Tanjung, SH., MH, bersama anggota tim lainnya yaitu Muhammad Faisal Ginting, SH., M.Hum, Faisal Arbi, SH., MH, Suyanto, SH., dan Erry Afrizal, SH. Sementara itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Erning Kosasih, SH, menghadirkan seorang saksi dan empat ahli.
Saksi yang dihadirkan adalah Daniel Candra Simangunsong selaku pelapor. Adapun empat ahli yang diminta keterangannya adalah:
1. Dr. Julius Sianturi, S.Th., M.Pd.K, sebagai Ahli Agama Kristen.
2. Dr. Suryani Hardjo, sebagai Ahli Psikologi.
3. Agus Bambang Hermanto, S.S., M.Pd, sebagai Ahli Bahasa.
4. Roy Tenno Siburian, M.Si, sebagai Ahli Laboratorium Forensik.
Sebelum memberikan keterangan, para saksi dan ahli terlebih dahulu diambil sumpah sesuai agama masing-masing di hadapan hakim. Bagi yang beragama Kristen diambil janji, sedangkan bagi yang beragama Islam diambil sumpah.
Dalam persidangan tersebut, tim kuasa hukum terdakwa yang dipimpin Wendy M. Tanjung, SH., MH, mengajukan sejumlah pertanyaan yang menyoroti klaim penghinaan terhadap simbol-simbol agama dalam video yang diunggah terdakwa. Salah satu kuasa hukum, Muhammad Faisal Ginting, SH., M.Hum, mempertanyakan dasar hukum yang mendasari klaim penghinaan, sementara Suyanto, SH, menggali lebih jauh bagian spesifik dalam video yang dianggap menyinggung. Pihak terdakwa juga mengajukan berbagai argumen terkait makna dan penggunaan gambar Yesus dalam video tersebut, yang diperdebatkan oleh ahli agama Kristen, Dr. Julius Sianturi, yang menegaskan bahwa gambar tersebut merupakan representasi sakral meskipun hasil imajinasi pelukis. Diskusi tentang konteks psikologis dan linguistik dalam video juga turut menjadi sorotan, dengan ahli psikologi Dr. Suryani Hardjo menganalisis ekspresi dan gestur terdakwa yang dianggap merendahkan simbol agama.
Saksi pelapor, Daniel Candra Simangunsong, mengungkapkan bahwa laporan dibuat setelah melihat unggahan terdakwa di platform TikTok yang dinilai menistakan agama. Dalam sidang, Daniel menjelaskan bahwa ia menerima unggahan tersebut dari seorang teman bernama Hendro melalui WhatsApp pada 4 Oktober 2024. Video berdurasi sekitar satu menit itu memperlihatkan gambar yang menurut Daniel menyerupai Tuhan Yesus dengan ciri khas salib, hati kudus, dan cahaya, disertai suara yang menurutnya tidak pantas.
“Awalnya saya biasa saja karena ada yang merendahkan agama kami. Namun, video ini membuat saya tersinggung karena berisi hal yang dianggap sakral oleh saya,” jelas Daniel kepada majelis hakim.
Hakim juga menanyakan kepada Daniel terkait kronologi laporan, termasuk akun terdakwa, platform TikTok, dan bagaimana unggahan tersebut menyebar. Daniel mengakui bahwa ia melihat video itu melalui unggahan ulang di akun lain sebelum akhirnya melaporkannya ke pihak kepolisian.
Dalam pemeriksaan, JPU Erning Kosasih menanyakan sejumlah hal kepada saksi Daniel Candra Simangunsong. Ketika ditanya soal pakaian yang dikenakan terdakwa saat insiden terjadi, Daniel menjawab bahwa terdakwa mengenakan kaos.
JPU kemudian bertanya apakah Daniel sempat melakukan konfirmasi kepada terdakwa terkait postingan yang dianggap bermasalah. Daniel mengaku tidak menyangka bahwa postingan tersebut akan menjadi persoalan besar.
Ketika JPU menanyakan gambar mana dari postingan yang dianggap paling sakral, Daniel menyatakan bahwa semuanya sakral dan tidak dapat dinilai dengan cara apapun.
JPU juga menggali apakah terdakwa pernah memposting permohonan maaf atas kasus tersebut.
Daniel menjawab bahwa terdakwa sempat meminta maaf. Namun, menurutnya, video terkait pertama kali ia ketahui dari postingan pihak lain pada 3 Oktober 2024.
Respons Pelapor
Ketika ditanya mengenai alasan merespons video tersebut, Daniel mengaku awalnya merasa kesal. Namun, ia kemudian mempelajari lebih lanjut konten yang diunggah terdakwa dan menyampaikan laporan kepada pihak berwajib.
Kuasa hukum terdakwa, Muhammad Faisal Ginting, SH., M.Hum, mempertanyakan kepada saksi Daniel mengenai dasar hukum atau dalil tertulis yang mendukung klaim bahwa simbol-simbol agama seperti gambar Tuhan Yesus, Hati Kudus, dan salib telah dihina dalam postingan terdakwa. Daniel menjawab bahwa penghormatan terhadap simbol tersebut didasarkan pada keyakinan agama, meskipun tidak ada dalil tertulis yang spesifik.
Sementara itu, kuasa hukum lainnya, Suyanto, SH, menanyakan bagian spesifik dari postingan yang dianggap menghina. Daniel menjelaskan bahwa kata-kata “cukur rambutmu” dalam postingan tersebut, diiringi gerakan tertentu yang dianggap menyerupai suara binatang, menyinggung perasaan umat yang menganggap simbol-simbol tersebut sakral.
Saat ditanya lebih lanjut oleh terdakwa, Daniel mengakui bahwa ia mengetahui video tersebut bukan langsung dari unggahan terdakwa, melainkan dari pihak lain yang memviralkannya. Ia juga menyatakan bahwa simbol yang digunakan dalam video merupakan representasi dan bukan gambar asli yang disahkan secara tertulis.
Debat Hukum di Persidangan
Sidang berlangsung cukup dinamis, dengan perdebatan antara pihak JPU, kuasa hukum, dan terdakwa mengenai bukti yang dianggap mendukung tuduhan penghinaan. Hakim mengingatkan semua pihak untuk fokus pada dakwaan dan fakta hukum yang relevan.
Terdakwa, dalam pembelaannya, menanyakan kepada saksi pelapor mengenai alasan laporan pidana yang diajukan, meskipun saksi mengaku tidak memiliki bukti tertulis yang mengesahkan simbol yang dihina. Menanggapi hal tersebut, Daniel menjelaskan bahwa keyakinannya terhadap sakralitas simbol itu menjadi dasar pelaporan.
Dalam sidang, Dr. Julius Sianturi menjelaskan pandangannya sebagai Ahli Agama Kristen. Ia menegaskan bahwa gambar yang diperlihatkan dalam video yang diputar oleh JPU merupakan representasi dari Tuhan Yesus berdasarkan tradisi iman Kristen dan Katolik, meskipun gambar tersebut adalah hasil imajinasi pelukis.
Menurut Julius, lambang hati kudus yang terlihat dalam gambar menunjukkan sifat Yesus sebagai sosok tanpa dosa dan dusta. Ia juga menegaskan bahwa simbol salib dan hati kudus adalah bagian integral dari iman Kristen dan Katolik.
Namun, dalam sesi tanya jawab, kuasa hukum terdakwa Wendy M. Tanjung mengutip ayat-ayat Alkitab, termasuk Ulangan 4:16-19 dan Roma 1:22-23, yang melarang pembuatan patung atau gambar yang menyerupai Tuhan. Wendy menanyakan pandangan ahli terkait hal ini. Dr. Julius menjelaskan bahwa ayat-ayat tersebut berasal dari Perjanjian Lama yang berfokus pada Allah sebagai Tuhan Israel sebelum kemunculan Yesus Kristus dalam Perjanjian Baru.
Debat Tentang Makna Gambar Yesus
Diskusi antara ahli dan kuasa hukum terus berlanjut, dengan Wendy menyoroti sejarah pembuatan gambar Yesus yang didasarkan pada imajinasi seniman seperti Leonardo da Vinci. Dr. Julius menyatakan bahwa meskipun gambar itu adalah imajinasi, umat Kristen dan Katolik meyakini bahwa Yesus adalah sosok yang suci dan tidak tercela.
Dalam persidangan, JPU juga menanyakan apakah gambar tersebut dapat memicu keresahan di kalangan umat Kristen. Dr. Julius menyebutkan bahwa penggunaan gambar yang tidak sesuai dapat menggoyahkan iman umat dan merusak persatuan.
Dalam persidangan, kuasa hukum terdakwa, Suyanto, SH, mengajukan sejumlah pertanyaan kepada Dr. Julius Sianturi, S.Th., M.Pd.K, terkait foto yang menjadi salah satu barang bukti. Foto tersebut menggambarkan sosok yang diyakini sebagai Yesus dengan hati kudus dan salib.
Suyanto bertanya kepada ahli mengenai detail dalam foto tersebut, termasuk apakah hati pada sosok dalam gambar terlihat tertusuk atau mulus. Menjawab pertanyaan tersebut, ahli menjelaskan bahwa hati dalam foto tersebut tampak mulus, dan gambar tersebut merupakan imajinasi yang menggambarkan Yesus dengan hati kudus yang melambangkan pengorbanan dan penebusan dosa manusia.
Ketika ditanya apakah foto tersebut dapat secara pasti mewakili Tuhan Yesus, Dr. Julius menegaskan bahwa foto itu merupakan imajinasi yang tidak dapat dipisahkan dari keyakinan agama Kristen terkait pengorbanan Yesus.
Kuasa hukum juga mempertanyakan simbol-simbol dalam foto tersebut terkait perbedaan antara Kristen Katolik dan Protestan. Menanggapi hal ini, ahli menjelaskan, “Foto tersebut tidak dapat dipisahkan dari iman Kristen, tetapi secara teologis, Kristen dan Katolik adalah dua keyakinan yang berbeda dalam struktur, meskipun sama-sama percaya pada Yesus Kristus.”
Dalam persidangan, Muhammad Faisal Ginting selaku kuasa hukum terdakwa memberikan sejumlah pertanyaan kepada Dr. Julius Sianturi, Ahli Agama Kristen, terkait penafsiran simbol dan penggambaran Yesus Kristus dalam ajaran Kristen. Faisal mempertanyakan dasar hukum dalam Alkitab mengenai simbol dan gambar yang dianggap mewakili Yesus Kristus.
Faisal: “Apakah dalam Alkitab secara spesifik tertulis tentang penggambaran wajah atau simbol Yesus Kristus?”
Julius: “Tidak ada penjelasan spesifik dalam Alkitab. Gambar tersebut merupakan hasil imajinasi pelukis, namun diyakini sebagai representasi Yesus karena adanya simbol-simbol seperti hati kudus dan salib.”
Faisal juga menanyakan apakah penggambaran Yesus Kristus yang beredar di masyarakat dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum jika tidak ada dasar tertulis yang jelas dalam Alkitab. Julius menjelaskan bahwa meskipun Alkitab tidak secara eksplisit mendeskripsikan gambar Yesus, simbol-simbol tersebut telah diakui secara luas oleh umat Kristen dan Katolik di seluruh dunia.
Faisal: “Jika simbol hati kudus dan salib dipindahkan ke gambar lain, apakah itu masih dianggap sebagai Yesus Kristus?”
Julius: “Hati kudus dan salib adalah milik Yesus Kristus dan tidak bisa dipisahkan darinya, meskipun dipindahkan ke gambar lain.”
Ahli menegaskan bahwa pandangannya terbatas pada keilmuan agama dan tidak masuk ke ranah hukum.
Poin-Poin Kontradiktif yang Diangkat
Faisal juga menyoroti kontradiksi dalam penggunaan gambar Yesus yang beragam di berbagai negara, baik dari segi warna kulit maupun penggambaran lainnya. Ia menyatakan bahwa ketiadaan landasan tertulis dalam Alkitab membuat perkara ini menjadi bahan perdebatan hukum.
Faisal: “Jika tidak ada dasar hukum tertulis, apakah seseorang dapat dihukum atas dasar penggambaran tersebut?”
Julius: “Meski tidak tertulis, gambar tersebut telah diakui sebagai representasi Yesus Kristus di seluruh dunia.”
Dalam kesaksiannya, Dr. Suryani Hardjo memberikan analisis terkait video yang menjadi barang bukti kasus ini. Ia menjelaskan bahwa sebagai psikolog, ia diminta untuk menganalisis gestur, ekspresi wajah, dan bahasa tubuh terdakwa.
Menurut Dr. Suryani, terdakwa dalam video terlihat menggunakan bahasa tubuh seperti mata melotot, bibir mencibir, yang menurutnya menunjukkan sikap merendahkan terhadap tokoh agama yang menjadi simbol penting dalam agama Nasrani. “Ekspresi mata melotot terdakwa dapat diasosiasikan dengan sikap meremehkan atau komunikasi yang tidak sejajar,” ujar Dr. Suryani.
Pendalaman Hakim dan Jaksa
Ketua Majelis Hakim sempat menanyakan pengalaman ahli dalam menangani kasus serupa. Dr. Suryani mengakui bahwa meskipun dirinya belum pernah terlibat dalam kasus penistaan agama sebelumnya, analisis yang dilakukannya berdasarkan metode observasi psikologi.
Jaksa Penuntut Umum, Erning Kosasih, menggali lebih dalam terkait makna simbol-simbol agama yang ada dalam video tersebut. Ia menanyakan bagaimana ahli memandang interaksi terdakwa dengan simbol agama yang dianggap sebagai hal suci oleh umat Nasrani. Dr. Suryani menjelaskan bahwa komunikasi yang dilakukan terdakwa dalam video tersebut, disertai dengan intonasi dan gestur yang mengejek, dapat dianggap sebagai bentuk penghinaan terhadap simbol agama.
“Intonasi dan ekspresi terdakwa dalam video tersebut menunjukkan sikap merendahkan. Hal ini terlihat dari gerakan bibir, perubahan mimik wajah, dan penggunaan intonasi yang mengejek,” ungkap Dr. Suryani.
Dr. Suryani Hardjo, ahli psikologi, menjadi salah satu saksi penting yang dimintai pendapat oleh kuasa hukum terdakwa terkait video permintaan maaf Ratu Entok. Wendy M. Tanjung, SH., MH., memutar video tersebut di hadapan persidangan dan meminta analisis dari ahli terkait intonasi, mimik wajah, dan ekspresi yang ditampilkan dalam video.
Menurut Dr. Suryani, terdapat rasa penyesalan dalam ekspresi terdakwa yang terlihat dari video. Namun, ahli juga mencatat bahwa permintaan maaf tersebut bisa tetap menyakitkan bagi kelompok tertentu. Ketika ditanya apakah permintaan maaf itu tulus, Dr. Suryani menjawab bahwa ia percaya terdakwa menyesal, berdasarkan ekspresi yang ditampilkan dalam video.
Analisis Psikologis Terbatas pada Video
Kuasa hukum Muhammad Faisal Ginting menanyakan sejauh mana analisis psikologis terhadap video dapat akurat dibandingkan dengan pertemuan langsung. Dr. Suryani menjelaskan bahwa analisis berbasis video dapat dilakukan, namun idealnya asesmen dilakukan secara langsung untuk mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif.
“Secara psikologi, melihat gestur dan mimik melalui video cukup normal, tetapi interaksi langsung tentu memberikan data yang lebih kaya,” ujar Dr. Suryani.
Bahasa dan Budaya dalam Konteks Medan
Dalam sidang ini, juga dibahas soal pola komunikasi yang khas di Medan. Kuasa hukum Suyanto, SH., menanyakan kepada ahli apakah istilah tertentu yang digunakan terdakwa dapat dianggap tidak sopan. Dr. Suryani menjawab bahwa konteks komunikasi sangat penting, terutama jika yang diajak bicara adalah simbol keagamaan yang dihormati oleh kelompok tertentu.
“Masalah ini bukan hanya soal kata-kata, tetapi bagaimana cara komunikasi itu diarahkan, terutama kepada tokoh yang memiliki makna sakral bagi agama tertentu,” jelas Dr. Suryani.
Dalam persidangan, JPU Erning Kosasih mengajukan sejumlah pertanyaan kepada Agus Bambang Hermanto, S.S., M.Pd selaku Ahli Bahasa. Ia menjelaskan bahwa video yang menjadi barang bukti dalam kasus ini menunjukkan adanya penggunaan simbol agama yang diduga direndahkan melalui kata-kata dan konteks visual.
Ahli menjelaskan bahwa frasa seperti “woi, cukur rambut kau” dan “jangan sampai menyerupai perempuan, biar kayak Leonardo DiCaprio” adalah bentuk kalimat perintah. Penggunaan kata-kata tersebut, menurut ahli, menunjukkan diskriminasi terhadap simbol agama dan stereotip tertentu terhadap penampilan. Selain itu, frasa-frasa tersebut dianggap memiliki unsur penghinaan terhadap simbol agama yang sakral.
Ahli juga menjelaskan tentang penggunaan kata “HORGG” dalam video tersebut. Menurutnya, kata itu merupakan bentuk onomatopoeia (tiruan bunyi) yang menyerupai suara binatang, seperti suara babi. Hal ini, menurut ahli, menunjukkan adanya unsur merendahkan simbol agama yang muncul dalam video tersebut.
“Ketika simbol agama yang sakral digambarkan dengan suara binatang, itu jelas menunjukkan tindakan yang merendahkan dan menghina,” kata Agus Bambang Hermanto dalam keterangannya di hadapan majelis hakim.
Agus Bambang Hermanto, ahli bahasa yang dihadirkan, dimintai keterangan oleh kuasa hukum terdakwa, Muhammad Faisal Ginting, SH., M.Hum. Salah satu pertanyaan yang diajukan adalah mengenai penggunaan kata “HORRGH” yang terucap dalam salah satu video yang menjadi bagian dari bukti dalam kasus ini. Ginting menginginkan penjelasan apakah suara tersebut bisa dianggap sebagai bentuk penghinaan.
Agus Bambang Hermanto menjelaskan bahwa dalam kajian bahasa, suara atau kalimat yang muncul bisa dianalisis melalui teori pragmatik, yang mencakup tiga aspek: lokusi (kalimat yang muncul), ilokusi (maksud dari kalimat tersebut), dan perlokusi (akibat yang ditimbulkan oleh kalimat tersebut). Dalam konteks suara seperti “HORRGH”, yang dapat meniru suara binatang, menurut Agus, kalimat atau suara tersebut bisa memiliki makna merendahkan, terutama jika disampaikan dengan konotasi yang mengarah pada simbol sakral seperti gambar Yesus.
Selanjutnya, Ginting bertanya mengenai pengertian perintah dalam bahasa dan apakah perintah seperti “cukur” yang diucapkan dalam persidangan bisa dianggap sebagai bentuk penghinaan. Agus menjelaskan bahwa dalam teori bahasa, perintah memiliki makna yang bergantung pada konteks dan cara penyampaiannya. Misalnya, kata “cukur” yang disampaikan secara tegas dan berulang dapat memberikan tekanan tertentu, yang dalam beberapa kasus bisa merendahkan.
Tentang Penelitian dalam Konteks Bahasa
Pada bagian lain, Ginting menanyakan mengenai penerapan penelitian dalam konteks bahasa, khususnya terkait benda mati. Agus menjawab bahwa penelitian terhadap benda mati, seperti tanaman atau bangunan, bisa dilakukan dengan cara tertentu, meskipun dalam konteks ini, interpretasi terhadap gambar atau simbol dalam agama bisa berbeda. Agus menegaskan bahwa dalam konteks agama, benda atau gambar yang dianggap sakral memiliki makna yang lebih dalam dan harus dihormati.
Ginting juga mempertanyakan apakah penerimaan terhadap perintah dalam konteks ini bisa dianggap sebagai masalah jika perintah tersebut tidak diterima oleh yang diperintahkan. Agus mengungkapkan bahwa dalam teori bahasa, perintah dapat dilaksanakan atau tidak, tergantung pada penerima perintah dan konteksnya. Dalam hal ini, jika seseorang tidak menerima perintah, tidak ada masalah, kecuali jika ada ancaman atau konsekuensi yang mengikat.
Gambar Yesus: Simbol Sakral dan Penghinaan
Persidangan juga membahas mengenai gambar Yesus yang menjadi bagian dari perkara ini. Agus Bambang Hermanto memberikan penjelasan mengenai gambaran Yesus yang dianggap sebagai simbol sakral dalam agama Kristen. Agus mengungkapkan bahwa gambar tersebut, yang sering kali menampilkan simbol-simbol seperti hati merah, dapat dikenali sebagai representasi sakral oleh umat Kristen, terutama karena gambar-gambar tersebut sering dijumpai di gereja-gereja atau tempat ibadah.
Meskipun Agus tidak berbicara dari perspektif agama, ia mengakui bahwa bagi umat Kristen, gambar Yesus adalah simbol yang dihormati dan seharusnya tidak digunakan untuk merendahkan atau menghina.
Kontroversi Terkait Penggunaan Bahasa
Sidang juga membahas penggunaan kata-kata yang bisa dianggap kasar atau tidak sopan dalam komunikasi sehari-hari. Ginting menanyakan apakah kata-kata seperti “gila” yang digunakan dalam konteks percakapan biasa bisa dianggap sebagai penghinaan. Agus menjawab bahwa dalam banyak kasus, kata tersebut tidak dianggap menghina, tergantung pada konteksnya. Seperti di beberapa daerah, kata-kata yang secara harfiah kasar bisa saja dianggap biasa atau tidak bermakna penghinaan, asalkan digunakan dalam konteks yang tepat dan dengan hubungan yang akrab antar individu.
Ginting kemudian mengajukan contoh lain, yaitu mengenai kata “cukur” yang diucapkan berulang kali dengan tekanan tertentu. Agus menjelaskan bahwa jika kata tersebut diulang dengan tekanan, bisa jadi memiliki makna yang berbeda dan lebih menekankan pada perintah yang bisa dianggap merendahkan.
Klarifikasi Mengenai Penggambaran Tuhan Yesus
Di akhir persidangan, Agus Bambang Hermanto mengklarifikasi bahwa ia tidak bermaksud menyatakan bahwa gambar Yesus adalah Tuhan, namun ia mengakui bahwa bagi umat Kristen, gambar tersebut dianggap sakral dan memiliki makna khusus. Agus menegaskan bahwa ia berbicara dari perspektif akademis dan bahasa, bukan agama, dan berusaha memberikan penjelasan seobjektif mungkin.
Dalam persidangan, JPU Erning Kosasih menanyakan kepada Roy Tenno Siburian, M.Si (ahli laboratorium forensik), terkait pemeriksaan barang bukti berupa dua unit headphone yang disita dalam kasus ini. Ahli menjelaskan bahwa barang bukti yang disita adalah:
1. Headphone merek Vivo XZ90 Pro Model Vivo 1940 warna abu-abu, dengan dua IMEI yang tertera, yang disita dari terdakwa Ratu Entok.
2. Headphone merek Vivo V15 Pro Model Vivo 1818 warna biru, dengan dua IMEI yang tertera, yang disita dari Ratu Thalisa alias Ratu Entok.
Ahli menjelaskan lebih lanjut bahwa dalam pemeriksaan terhadap kedua headphone tersebut, ditemukan aplikasi TikTok dengan akun bernama “Ratuentok olshop” dan beberapa detail terkait akun yang terhubung dengan nama pengguna “Ratu@Ratuentok glowskincare”.
Pemeriksaan Terkait Video di TikTok
JPU kemudian bertanya mengenai adanya video yang ditemukan di aplikasi TikTok pada kedua headphone tersebut. Ahli menjelaskan bahwa focus kepada akun, video seperti yang dipersoalkan dalam kasus ini, yang ditemukan hanya akun pengguna dan beberapa detail terkait penggunaan aplikasi TikTok.
Pertanyaan Kuasa Hukum Terkait Proses Pemeriksaan
Kuasa hukum terdakwa, Wendy M. Tanjung, SH., MH, juga mengajukan beberapa pertanyaan kepada ahli forensik. Ia menanyakan mengenai proses membuka akun TikTok dan siapa pemilik akun tersebut. Ahli menjelaskan bahwa pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan dua unit handphone, yang mana setelah membuka aplikasi TikTok, ditemukan akun dengan nama pengguna “Ratuentokglowskincare” yang terhubung dengan salah satu unit headphone yang disita.
Dalam sidang tersebut, kuasa hukum terdakwa juga menanyakan terkait proses pemeriksaan akun TikTok yang melalui beranda (feed) ahli. Ahli menjelaskan bahwa meskipun tidak memeriksa video yang dipersoalkan, ia hanya menelusuri akun dan aplikasi yang ditemukan di dalam barang bukti.
Penutupan Sidang dan Informasi Sidang Lanjutan
Sidang kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan dari hakim anggota mengenai jumlah pengikut (followers) akun TikTok yang ditemukan di dalam barang bukti. Ahli menyampaikan bahwa akun “Ratuentokglowskincare” memiliki 449.200 pengikut dan 5,5 juta suka (likes), menunjukkan besarnya jangkauan akun tersebut.
Setelah pemeriksaan saksi dan ahli selesai, Ketua Majelis Hakim menutup sidang dan menginformasikan bahwa sidang lanjutan akan digelar pada Senin, 20 Januari 2025.