Rapat dengar pendapat gabungan Komisi A dan B DPRD Sumut bahas soal BBM subsidi nelayan
MEDAN. Pelitaharian.id – DPRD Sumut mendorong Pertamina MOR I dan DKP (Dinas Kelautan dan Perikanan) Provsu mengoptimalisasikan penyaluran BBM (Bahan Bakar Minyak) subsidi bagi nelayan tradisional, agar subsidi pemerintah tidak bensr-benar dinikmati rakyat kecil, bukan mafia seperti yang disinyalir selama ini.
Hal ini dinyatakan Ketua san anggota Komisi A DPRD Sumut Hendro Susanto, Abdul Rahim Siregar dan Sekretaris Komisi B DPRD Sumut Ahmad Hadian yang memimpin rapat dengar pendapat dengan Pertamina MOP I, DKP Provsu, Ombudsman, KNTI (Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia), Selasa (22/9/2021) di ruang rapat banggar DPRD Sumut.
Hendro Susanto menyebutkan, pihaknya menemukan beberapa persoalan yang pada prinsipnya bisa dipecahkan, hanya saja kendalanya masih ada sinyalemen ragu mengeluarkan rekomendasi untuk nelayan tradisional agar memperoleh BBM subsidi. Percepatan memiliki kartu nelayan agar menjadi perhatian serius, karena kartu itu sebagai akses memperoleh BBM subsidi.
“Nelayan bagian dari sektor kemaritiman dan agenda pembangunan nasional. Kalau ada kepala daerah tidak mendukung agenda pembangunan nasional, perlu dipertanyakan. Kita prihatin, harga BBM subsidi bisa menjadi Rp 6700 per liter, padahal harga yang ditetapkan Rp5150 per liter,” ujar Hendro.
Menurut Rahim, ketika pelayanan berjalan dengan baik tidak akan timbul masalah, tapi nelayan tradisional diabaikan tentu menimbukan masalah.
Pertamina masih monopoli penyaluran BBM, tapi masih saja mengalami kerugian ada apa. Sementara pejabatnya hidupnya ‘mewah-mewah’. “Jangan-jangan ada mafia dalam penyaluran BBM subsidi. Padahal nelayan tradisional hanya untuk mencari nafkah. Kita ingin pertemuan ini ada solusi untuk ditindaklanjuti nelayan tradisional,” tegasnya seraya minta Pertamina memberikan perhatian khusus kepada nelayan tradisional.
Untuk itu, Ahmad Hadian minta DKP Sumut lebih progresif dalam menambah kuota BBM subsidi untuk nelayan tradisional menggunakan kapal dibawah 5 GT, jika kebutuhan tidak mencukupi. Contohnya di Jateng, Pemprovnya beli minyak untuk nelayan. Kita juga akan kawal agar DKP Sumut menganggarkan untuk BBM subsidi nelayan tradisional. Kalau tidak, nelayan akan termarjinalkan terus. Kalau Jateng bisa kenapa Sumut tidak bisa. Ini tinggal teknis saja.
“Kami minta Pertamina jujur. Kuota yang sudah 91 persen untuk siapa, atau hanya untuk 10 GT keatas atau 10 GT kebawah. Untuk nelayan tradisional berapa jatahnya dan untuk pengusaha berapa jatahnya harus jelas. Kita juga mengurusi rakyat bukan hanya 10 GT keatas,”tandas Hadian.
Demikian halnya anggota Komisi B DPRD Sumut Parsaulian Tambunan MPd mempertanyakan SPBN di daerah-daerah masih kurang. Misalnya di Batubara masih dibutuhkan minimal 7 SPBN benar-benar beroperasional. Masalah harga sesuai laporan, berbeda dengan ditetapkan pemerintah Rp5150 per liter. Nelayan tradisional harus membeli Rp6500 per liter, bahkan kalau hilang atau langka bisa mencapai Rp 8000 per liter atau jangan-jangan mimyak itu lari ke pengusaha, sehingga BBM itu menghilang. “Tidak tertutup kemungkinan terjadi transaksi ditengah laut. Persoalan ini harus menjadi perhatian serius. Jangan dibiarkan berlarut-larut,” kata politisi NasDem ini.
Kepala DKP Sumut Mulyadi Simatupang menyebutkan, pihaknya akan tindaklanjuti data yang sampaikan KNTI dan akan kerjasama. Terkait pas besar dan pas kecil akan dilakukan kerjasama dengan pihak Sahbandar yang menerbitkan pas. Untuk masalah asuransi nelayan sudah dilakukan dengan syarat punya kartu nelayan atau kartu kusuka. Syarat mendapatkan kartu kusuka, KTP dengan pekerjaanya nelayan.
“Kami akan berkoordinasi dengan pemkab/pemko terkait pemilikan kartu kusuka. Terkait subsidi BBM dalam menentukan kuota, ada pada migas. Diakui kita kueang pengaqasan. Ada hal2 baru yg kami dapatkan, kita gk bisa bicara kewenangan saja,
Puluhan ribu nelayan belum mendapat kartu kusuka.
Sebelumnya Ketua KNTI Kota Tanjung Balai Imam Azhari mengatakan, kesulitan nelayan dalam mengakses BBM bersubsidi itu didapatkan berdasarkan hasil survei. Harga BBM bersubsidi dilapangan, kebanyakan nelayan mengakses BBM bersubsidi di angka Rp 6.500. Bahkan ada nelayan dapatkan harga di Tanjung Balai Rp 7000, kalau BBM langka, bisa capai Rp 8.000-10.000. Ini cukup tinggi
Pihak Pertamina diwakili Deni mengatakan, BPH migas menentukan kouta berdasarkan pengajuan disampaikan nelayan. Kemudian BPH migas juga akan melakukan evaluasi dan meninjau mengenai permohonan kuota tersebut. (MI)